Jumat, 14 November 2014

Mengitari sudut kota Jogja. Terletak strategis di perempatan Galeria mall dan rumah sakit Bethesda Jl. Jend. Sudirman. Di perempatan tersebut terdapat iklan layar gerak yang dinamis atau disebut reklame megatron / Vidiotron / Large Electronic Display (LED) yang terpampang dengan tayangan-tayangan iklan berbagai konten dengan waktu pergantian tertentu tiap iklannya. Sesekali para pengemudi memandang layar tersebut, terlebih saat menunggu traffic light tanda kendaraan diperbolehkan berjalan. Di satu sisi ada manfaat bagi publik sebagai tontonan di kala menunggu, tetapi jika ditelaah lagi iklan yang termasuk dalam kategori iklan luar ruangan (outdoor) ini lama kelamaan juga menjadi sampah visual di ruang public. Ketika publik hanya disuguhi dengan muatan komersial seperti itu, konsumerisme dapat merajalela. Iklan reklame semacam billboard, spanduk, pamflet yang telah menjadi iklan konvensional selain iklan media massa, kemudian dibuatlah iklan layar LED sebagai alternatif untuk beriklan yang dinilai lebih menarik, dinamis dan juga dapat diandalkan dari sisi investasi. Namun dengan berbagai kelebihan dan juga kekurangan.

Hanya saja yang dipermasalahkan di sini hanyalah sisi kemanfaatan dari pengguna jalan dan jangan sampai ada merugikan publik seperti mengganggu pandangan, pengalih perhatian ataupun hal lainnya. Akan semakin lebih baik lagi jika layar LED tersebut dapat diisi dengan konten yang bermuatan positif, bermanfaat dan berkualitas. Selain itu sisi peletakkannya juga harus diperhatikan. Tidak hanya melihat dari sisi strategisnya tetapi juga sisi keamanan dan kenyamanan pandangan publik.

Kita dapat melihat contoh seperti tata kota Bandung di mana Pemda setempat memanfaatkan di bawah jembatan layang atau fly over sebagai ruang publik yang lebih menarik dan bermanfaat, yaitu dengan memasang layar lebar yang akan dilakukan penayangan berbagai film sebutlah taman film. Hal ini adalah terobosan yang cerdas dengan memanfaatkan ruang publik yang selama ini terbengkalai bahkan menjadi 'sarang' tindak kejahatan ataupun sebagai lahan pengemis meminta-minta pada pengguna jalan. Selain itu juga kerap menjadi tempat berteduh sementara (rumah) para tuna wisma.

Polusi visual yang semakin mengurangi estetika kota budaya ini sudah semestinya mendapat perhatian yang tinggi dari siapapun itu yang peduli dengan kota bersejarah ini. Jangan sampai pesona kentalnya budaya, indahnya tata kota menjadi rusak dengan kehadiran reklame-reklame yang semrawut di berbagai sudut kota Jogja. Dan Jogja milik kita semua, orang Indonesia :)

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar